Wednesday, October 15, 2008

Kenangan

Lagi blogwalking, tiba-tiba nemu puisi indah ini. Setelah kubaca, hmm... kok kayaknya menggambarkan pengalaman dan perasaan pribadi yak. Jadilah kukutip aja di sini.

Sajak Februari

:1991-1995

1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu

2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh

3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini

4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar

engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau

5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu

Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah

6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi

7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai

8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku

Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini


9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu

Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan

Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?

Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis

Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan

Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah


10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu


11
Hai

katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta

dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima

(Helvy Tiana Rosa)

Tuesday, October 14, 2008

Tanpa Judul

Mataku berkaca-kaca membaca ini. Aku kehilangan kata-kata, hanya ada duka bercampur haru menyesaki dada. Seketika ingin rasanya aku memeluk Hanif erat.

Masya Allah...

Monday, October 13, 2008

Kecanduan



Yup, aku kecanduan film ini. Kinda too late, I know. Soalnya di Trans 7 baru mulai diputer sih. Itupun baru Season 1, baru sampai Chapter 12. Nggak apa-apa lah telat, yang penting lumayan terhibur setelah penat di kantor seharian.

Gambar diambil dari sini.

Thursday, October 09, 2008

ASI Eksklusif


Di usia Hanif yang ke-3 bulan, aku terpaksa mengambil keputusan sulit: memberinya tambahan susu formula—di samping ASI tentunya. Hanif sudah bertambah besar saja, minumnya kuat. ASI perah yang selama ini memenuhi kebutuhannya kini makin terasa kurang saja. Dia makin sering merengek-rengek haus, seperti tidak pernah cukup.

Waktu itu berat badannya hampir 6 kg. Menurut dokter, kecukupan susunya dilihat dari berat ini, yaitu 100 mL untuk tiap kg. Berarti sehari minimal dia harus minum 600 mL. Ini minimal. Yah, secara kasar, angka minimal ini hanya cukup untuk hidup dan bernafas. Untuk optimalisasi tumbuh kembangnya, angka minimal ini harus ditambah. Untuk berat badannya yang segitu, paling bagus dia minum 800-900 mL sehari.

Aku tidak mau ambil resiko Hanif kurang minum. Nanti kecukupan gizi dan optimalisasi tumbuh kembangnya bagaimana? Karena ASI-ku juga makin berkurang, jadilah aku ambil keputusan sulit itu. Mengapa sulit? Karena dari awal, aku ingin Hanif menjalani program ASI eksklusif selama 6 bulan. Dengan adanya kejadian ini, berarti program ASI eksklusif-ku gagal :(

Mengenai pentingnya program ASI eksklusif selama 6 bulan, rasanya tidak perlu kuceritakan di sini. Banyak situs di internet yang menerangkan hal ini. Yah, pada intinya, aku sempat merasa sedih dan gagal menjadi ibu karena program ini gagal. Ada rasa malu ketika orang lain tahu bahwa ASI-ku hanya sedikit atau kadang tidak keluar saat Hanif berdecap-decap menyedotnya.

Berusaha menjadi positif, itu yang sekarang ingin kulakukan. Pernah ada SMS dari Mbak Liyan yang masuk ke inbox-ku, ”Gagal ASI eksklusif bukan akhir dari segalanya. Gagal ASI eksklusif bukan berarti kita gagal menjadi ibu. Berhasil ASI eksklusif juga belum menjamin kita bisa jadi ibu yang baik. Jalan kita untuk menjadi ibu masih panjang, Yus. Tetap semangat ya!”

I know, I know. Mungkin aku yang terlalu sedih—seperti biasa. Tapi aku yakin, semua usaha sudah kulakukan: minum susu, minum jamu, makan daun katuk, makan sayur dan buah, dsb. Jadi kalau ASI-ku berkurang, mungkin memang demikianlah Allah menentukan. Yang penting aku sudah berikhtiar. Dan... oh come on, baik buruknya menjadi ibu tidak bisa diukur dari pemberian ASI semata.

Dan setelah aku search di situs We R Mommies, ada artikel yang pas sekali. Berikut kutipannya.

Saat Tidak Bisa Memberi ASI

Pengirim: Retmawati
Selasa, 23 Januari 2007

Seorang teman curhat kepada saya. Dia merasa sangat malu untuk bertemu dengan teman-teman, apalagi untuk kopdar dengan teman milis yang sebagian besar adalah Mom. Mengapa? Karena dia tidak bisa memberi ASI untuk anaknya. Efeknya sampai sejauh itu?

Di tengah kampanye pemberian ASI eksklusif, di tengah maraknya diksusi ASI di milis-milis, di tengah banyaknya cerita tentang ibu yang bisa memberi ASI selama 6 bulan (bahkan sampai 2 tahun), ibu-ibu seperti teman saya (dan juga saya yang hanya bisa memberi ASI selama 3 bulan), merasa agak "tersingkir".

Moms, berbanggalah diri Anda yang bisa memberi ASI eksklusif ke buah hati. Tidak sedikit moms lain yang tidak bisa memberikan minuman terbaik itu ke anaknya. Bukan karena malas tentu saja. Bukan juga karena dia ingin tubuhnya tetap bagus. Tapi karena sesuatu sebab (sakit sehingga harus menghentikan pemberian ASI karena mengonsumsi obat; puting tidak keluar; atau sebab lain).

Berbagai cara, upaya, dan semua saran telah diikuti. Tapi apa daya, air susu tiba-tiba berhenti. Dampaknya ternyata tidak bisa dianggap enteng, terutama untuk moms yang sejak tahu dirinya hamil telah bertekad akan memberikan ASI. Shock... itu pertama-pertama yang terjadi. Sedih, menangis, kecewa, atau bahkan depresi. Dan terakhir... saat ditanya oleh orang lain, "Anaknya masih ASI kan?" Merasa bahwa diri adalah ibu paling buruk sedunia. Akibatnya bertemu dengan sesama ibu maupun teman (yang seringnya menanyakan hal itu), menjadi sesuatu yang "menakutkan". Paling tidak itu yang teman saya alami (dan tentu saja pernah saya alami).

Jangan Menyalahkan Diri

Minum jamu yang pahit, makan daun katuk dan memompa susu setiap hari, melakukan pijat, telah dilakukan. Tapi karena sesuatu hal, ternyata ASI tidak banyak keluar dan akhirnya berhenti. Apa yang salah? Tidak ada.

Jangan pernah menyalahkan diri sendiri karena hal itu. Toh kita telah berusaha semampu kita (kecuali ada yang enggak berusaha ya). Moms, yakinlah bahwa anak kita suatu saat akan memahami bahwa kita telah melakukan berbagai cara untuk memberinya ASI. Jangan pernah beranggapan bahwa tanpa memberi ASI dunia serasa runtuh.

Jadi jika ada seseorang bertanya, "Anaknya masih ASI kan?" Jawab saja apa adanya. Ceritakan apa yang telah mom lakukan untuk mendapatkannya. Mungkin tidak semua orang bisa menerima. Tapi pikirkan satu hal: saya telah berusaha melakukan yang terbaik.

Bukan Hanya ASI

Tidak bisa memberi ASI bukan suatu aib yang harus ditutup-tutupi. Berpikirlah positif. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan. Misalnya, karena tidak bisa memberi ASI, maksimalkan hubungan dan cara mengasuh anak: meluangkan waktu setiap weekend untuk anak (memandikan, menyuapi, bermain bersama, membacakan cerita, mengajak jalan-jalan keliling kompleks, mengajari naik sepeda, dan lain-lain). "Good parenting is more than breastfeeding," ujar Jan Barger, seorang konsultan laktasi.

Bisa tidaknya memberi ASI bukan patokan apakah dia ibu yang baik atau buruk. Bisa memberi ASI, namun kemudian mengabaikan anak tanpa membimbingnya, jauh lebih buruk. Memang paling bagus bisa memberi ASI dan memberi banyak perhatian ke buah hati. Tapi saat hal itu terjadi, saat ASI tidak bisa keluar dan segala daya telah dilakukan, tegarlah! Duniamu belum berakhir.

Alhamdulillah ASI-ku masih ada, jadi Hanif masih bisa minum ASI sampai dua tahun—insya Allah—meski disambung dengan susu formula. Semoga ASI-ku tidak berhenti sama sekali. Makin kuat tekad dan langkah ini, untuk berproses menjadi bunda terbaik. Insya Allah, insya Allah.

Perempuan-Perempuan Perkasa

Dua orang asisten rumah tangga di rumahku adalah perempuan-perempuan perkasa. Ada kesamaan yang jelas di antara mereka: sama-sama jadi tulang punggung keluarga. Suami-suami mereka kerjanya enggak jelas alias serabutan. Kadang kerja, kadang enggak. Terpaksa mereka ikut mencari nafkah agar asap dapur tetap mengepul. Kalimat ”ikut mencari nafkah” sebenarnya kurang tepat, karena justru dari mereka-lah pemasukan utama berasal.

Hmm, aku jadi mikir. Beruntung sekali aku punya suami yang punya penghasilan tetap, dan alhamdulillah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Memang aku cenderung sepakat bila perempuan sebaiknya di rumah saja, tapi kalau dihadapkan pada realita seperti ini.. ya dilema juga sih.

Aku kurang tahu, suami-suami mereka yang kerjanya serabutan itu akibat keengganan atau akibat ketidakberuntungan. Kadang suka ada perasaan gemes ya kalau melihat laki-laki yang nggak mampu menghidupi keluarga. Apalagi kalau memang si lelaki adalah tipe orang yang malas dan nggak bertanggung jawab alias sa’enake dhewe. Masih mending kalau dia nggak mampu menghidupi keluarga karena bener-bener susah cari kerja misalnya. Wallahu’alam, aku nggak berhak men-judge.

Ada satu lagi perempuan perkasa yang atas kehendak Allah aku dipertemukan dengannya. Beliau adalah penjaja jamu keliling yang tiap hari lewat di depan rumah kontrakanku. Udah satu setengah bulan ini aku jadi langganannya. Dan lewat obrolan-obrolan ringan, jalinan silaturahim kami terbentuk.

Nama beliau Bu Ratmi, asli Wonogiri. Di sini dia tinggal dengan anak laki-lakinya, sementara suaminya tetap tinggal di kampung sebagai petani dan peternak kambing. Beliau mengaku hidup dengan sangat pas-pasan dari hasil jualan jamunya, maka dengan setia beliau berkeliling tiap hari, tak peduli hari hujan atau panas, dalam keadaan sehat maupun sakit. Yang membuatku tercengang dan kagum, anak laki-lakinya ini mahasiswa ITB lho. Bukan mahasiswa sembarangan kukira, karena ia kuliah dengan beasiswa dan IP yang tak pernah kurang dari 3 *bahkan biasanya lebih dari 3,5*.

Alhamdulillah karena Allah berkenan membuat hidupku beririsan dengan hidup tiga perempuan perkasa ini. Lewat mereka, aku belajar banyak tentang makna keikhlasan, sekaligus perjuangan dan kerja keras menghadapi hidup. Yang paling penting, lewat mereka, aku belajar banyak tentang rasa bersyukur dan kenikmatan berbagi.