Tuesday, October 20, 2009

Judes!

Wow, hari ini aku tertohok lagi. Oleh sesuatu yang sudah lama aku tahu, tapi tetap saja rasanya sangat sensasional: antara kaget, malu, dan gusar. Simak saja obrolan di kantin pagi ini.

Aku: “Kamu mual-mual ya?” (tanyaku pada seorang teman yang sedang hamil muda)
Teman A: “Iya nih, lebih mual daripada kehamilan pertama.”
Aku: “Aku dulu juga gitu. Mual banget.”
Teman B: (tiba-tiba berceletuk) “Saking mualnya sampai nggak bisa senyum ya?”
Aku: “???”
Teman B: “Iya. Kamu dulu pas awal-awal di sini kan emang nggak pernah senyum. Judes banget…”

Bagaimana tidak shock mendengar kritik yang begitu jujur seperti itu? Hehehe. Tapi sekarang aku lebih terlatih dalam menghadapi kritik. Tak lagi merasa tersingggung atau nangis bombay seperti dulu. Melainkan mencoba lebih bijak dan merenungkan semua yang temanku itu katakan.

Hmmm, masa-masa awal aku ada di sini… coba aku ingat-ingat. Yayaya, masa-masa itu memang masa-masa kegelapan hehehe. Kondisi sedang hamil, hormon kacau balau, dan mental jungkir balik membuatku begitu labil. Hampir setiap hari menangis, mencoba meraba-raba apa maksud Allah menempatkanku di sini. Fuuhh, masya Allah…

Kuakui, saat itu aku malas sekali menghadapi hari-hari. Malas sekali pergi ke kantor dan bertemu orang-orang. Rasanya wajar kalau saat itu mukaku jadi sering tertekuk. Aku tahu, bisa jadi waktu itu aku sangat judes. Aku tahuuuuu, tapi tetap saja kenyataan itu agak menyakitkan kalau disampaikan orang ya. Yah, aku maklum. Tidak semua orang paham dengan kondisiku. Tak semua orang tahu bagaimana aku berjuang keras untuk tetap tersenyum. Tak bisa salahkan mereka memang. Yang mereka tahu kan cuma keadaan luarku saja. Tak pernah senyum berarti judes. That’s it.

Hmmm, rasanya jadi tahu sekarang, kenapa teman B ini termasuk dalam orang-orang yang paling akhir akrab denganku. Mungkin dia juga malas bersosialisasi denganku waktu itu. Sekali lagi, tak bisa salahkan dia memang.

Kejadian ini membuatku berterima kasih padanya secara pribadi, dan berterima kasih pada Allah secara khusus. Pada Allah aku bersyukur telah diberi kesempatan mengalami campur aduk rasa kehidupan, bersyukur masih diberi cermin untuk instropeksi, dan juga bersyukur telah diingatkan bagaimana sebaiknya berwajah ramah kepada saudara. Yang paling penting, aku juga jadi diingatkan untuk tidak terlampau mudah men-judge orang berdasar penampilan luarnya saja, melainkan juga mencoba memahami dan mengenal orang lain lebih dekat. Karena rasanya sungguh tak enak kalau di-judge semena-mena tanpa tahu sebabnya heuheuheu.

Pertanyaannya sekarang adalah:
  • Apakah sebaiknya kita bermuka dua di hadapan orang lain? Hati kita sedih tapi kita tak boleh bersedih? Harus tetap tersenyum kah? Bukankah sedih adalah manusiawi? Hmmm, mungkin sebaiknya cuma menangis di hadapan Allah saja ‘kali ya. Tapi bisa saja lho, berusaha menyembunyikan perasaan ini dari orang lain malah akan membuat kita makin tertekan.
  • Apakah kita harus selalu memuaskan orang lain? Orang ingin lihat kita tersenyum dan ramah terus, atau orang lain ingin kita begini begitu. Haruskah kita melakukan sesuatu demi menyenangkan orang lain? Dan kadang-kadang menafikan keadaan kita sendiri? Hmmm, jadi martir dong kalau begitu.

Meskipun masih ada tanya tak terjawab, tapi instropeksi kali ini terasa nikmat. Terima kasih ya, Allah!